Home » REDAKSI » Sonia Sugian : Menembus Jalan Curam, Menyusuri Hati Rakyat

Sonia Sugian : Menembus Jalan Curam, Menyusuri Hati Rakyat

SUMEDANG, INFOJABARONLINE – Kabut tipis masih menyelimuti lereng Pamulihan ketika deru langkah mulai terdengar di jalan tanah merah. Embun pagi menempel di pucuk-pucuk ilalang, sementara burung-burung kecil berpindah dari satu dahan ke dahan lain, seolah ikut menyambut kedatangan rombongan kecil yang menuruni jalur curam itu. Di depan, seorang perempuan berkerudung sederhana melangkah hati-hati. Tangannya berpegangan pada potongan kayu yang disusun seadanya menjadi tangga.

Bagi sebagian orang, jalur itu mungkin terlalu berisiko. Licin, rapuh, dan memaksa tubuh untuk terus menahan keseimbangan. Tapi bagi Sonia Sugian, S.H., M.H., M.Trip, anggota DPRD Sumedang dari Fraksi Golkar, medan semacam ini bukanlah alasan untuk mundur.

“Pelan-pelan ya, Bu,” ucap seorang warga yang berjalan di belakangnya.

Sonia menoleh sambil tersenyum, “Tenang saja, sudah biasa saya ke jalur seperti ini. Yang penting sampai tujuan.”

Pagi yang Membawa Kabar Luka

Tujuan pertama hari itu adalah rumah seorang warga Desa Cijeruk, Kecamatan Pamulihan. Seorang anak remaja baru saja mengalami kecelakaan. Tulang kaki kirinya patah, dan kini ia hanya bisa berbaring di ranjang sederhana. Begitu memasuki rumah panggung itu, Sonia langsung menyapa sang ibu.

“Assalamu’alaikum… saya Sonia. Saya dengar anaknya sedang sakit?” ucapnya, menunduk sedikit untuk memberi salam.

Wajah ibu itu terlihat lelah, matanya sembab karena kurang tidur. “Iya, Bu… sudah seminggu ini anak saya nggak bisa kemana-mana. Masih sakit kalau digerakkan,” jawabnya lirih.

Sonia duduk di samping ranjang. Ia meraih tangan si anak, lalu berkata lembut, “Sabar ya. Tulang itu bisa sembuh, tapi semangat nggak boleh patah. Banyak yang mendoakan kamu.”

Tak hanya kata-kata, Sonia juga memberikan bantuan yang ia bawa. Bukan dalam jumlah yang membuat berita heboh, tapi cukup untuk meringankan beban biaya berobat. Lebih dari itu, ia memberikan sesuatu yang tak bisa dibeli—perhatian yang tulus.

Mak Aan dan Kursi Roda Harapan

Perjalanan berlanjut ke dusun lain di wilayah yang sama. Di sana, seorang perempuan renta yang akrab disapa Mak Aan sudah menunggu. Tubuhnya lumpuh akibat stroke. Selama ini, ia hanya bisa duduk atau berbaring di dalam rumah, mengandalkan bantuan orang untuk bergerak.

Begitu melihat Sonia datang, mata Mak Aan langsung berbinar. “Ah… Bu Dewan datang…” suaranya bergetar.

Sonia menghampiri, lalu dengan tangannya sendiri membuka plastik besar berisi kursi roda baru. “Ini untuk Mak Aan. Biar nanti bisa jalan-jalan ke luar rumah, lihat tetangga, lihat matahari,” ujarnya sambil tersenyum.

Air mata menetes di pipi keriput itu. “Hatur nuhun, Bu. Nggak nyangka…”

Beberapa tetangga yang hadir ikut terharu. Bagi mereka, bantuan ini bukan sekadar barang. Ini adalah simbol bahwa ada yang peduli, ada yang mau datang meski harus menempuh jalan curam dan licin.

Jejak yang Tak Terlihat di Peta

Kunjungan seperti ini sudah sering dilakukan Sonia. Tidak semua terdokumentasi, tidak semua masuk berita. Tapi di banyak sudut Dapil 6, ada cerita-cerita kecil tentangnya—membantu biaya pengobatan warga, mencarikan kursi roda, atau sekadar duduk mendengarkan keluh kesah petani dan pedagang kecil.

Ia percaya, menjadi wakil rakyat tidak berhenti pada rapat dan pidato. “Saya selalu ingat, kepercayaan rakyat itu bukan dibangun sekali saat kampanye, tapi dijaga setiap hari,” ujarnya suatu ketika.

Medan sulit pun tak pernah menjadi penghalang. Menuruni tanah merah, melintasi jembatan bambu, atau berjalan di jalan setapak berbatu, semua ia tempuh dengan langkah yang mantap.

Lebih dari Sekadar Janji

Di mata banyak orang, politisi sering diidentikkan dengan janji yang tak selalu ditepati. Namun Sonia berusaha mematahkan stigma itu. Baginya, politik adalah tentang keberanian untuk hadir, meski tak ada kamera, meski tak ada sorakan massa, dan meski tak ada panggung yang menyorot.

Hari itu, saat rombongan kembali mendaki jalur tanah yang curam, matahari sudah mulai meninggi. Keringat membasahi pelipisnya, tapi senyum di wajahnya tak hilang. Ia tahu, setiap langkah yang ia ambil bukan sekadar perjalanan fisik, tapi perjalanan hati—menembus jarak, merajut kepercayaan, dan meninggalkan jejak yang tak akan hilang di hati rakyatnya.

Karena bagi Sonia Sugian, menjadi pemimpin berarti siap berpeluh, siap berjalan di jalan terjal, dan siap hadir di saat rakyat paling membutuhkan. Dan di lereng Pamulihan yang berkabut itu, ia sudah menorehkan bukti.

Elang Salamina