Red.INFO JABAR ONLINE – Kata “pengabdian” makin sering terdengar di ruang-ruang birokrasi pendidikan. Terselip dalam pidato pejabat, terpampang di spanduk peringatan Hari Pendidikan Nasional, dan dipakai sebagai jargon untuk membungkus program. Tapi di balik kata yang mulia itu, praktik di lapangan berkata lain.
Budaya pengabdian kian terkikis. Yang muncul justru praktik pengondisian proyek rapi, sistematis, dan terselubung. Para pemangku kepentingan menampilkan wajah seolah bersih. Mereka bicara tentang pelayanan, integritas, dan dedikasi. Namun, di balik meja rapat dan percakapan informal, ada lobi, bagi-bagi jatah, dan komunikasi negatif yang berujung pada keuntungan pribadi.
Pendidikan pun kehilangan ruhnya. Guru dipaksa jadi pelengkap administrasi. Pelatihan sekadar seremonial. Renovasi sekolah lebih sibuk dengan nilai kontrak ketimbang mutu bangunan. Proyek buku yang mestinya jadi pintu ilmu, malah jadi pintu rezeki bagi segelintir orang.
Padahal, aturan sudah jelas. UU Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 Tahun 2003 menegaskan pendidikan sebagai sarana mencerdaskan kehidupan bangsa. UU Aparatur Sipil Negara Nomor 5 Tahun 2014 menuntut integritas dan netralitas pejabat publik. Dan UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 junto UU 20 Tahun 2001 melarang keras penyalahgunaan wewenang. Tapi di lapangan, undang-undang sering kali sekadar teks di atas kertas.
Di sisi lain, masih banyak guru yang bekerja dengan hati. Mereka datang lebih pagi, menyapu ruang kelas, dan mendidik anak-anak dengan senyum, meski honor tak seberapa. Ironinya, justru mereka yang tulus ini terjebak dalam sistem yang lebih sibuk dengan laporan keuangan ketimbang laporan mutu belajar.
Di sinilah kontradiksi pendidikan kita. Negara bicara idealisme, birokrasi bicara proyek. Yang dikorbankan adalah pengabdian. Dan yang dirugikan tentu murid, generasi yang seharusnya belajar integritas, tapi justru mewarisi contoh buruk dari lingkungannya sendiri.
Budaya pengabdian tidak bisa diganti proyek. Jika praktik ini dibiarkan, pendidikan hanya akan jadi panggung besar: penuh angka serapan anggaran, tapi kosong manfaat. Jalan keluarnya jelas yakni transparansi, akuntabilitas, dan keberanian menegakkan hukum. Tanpa itu, kita hanya akan terus menonton drama: pengabdian jadi topeng, proyek jadi dalang.**