PUBLIK kembali gaduh. Tunjangan perumahan DPRD Sumedang, yang disebut-sebut mencapai rata-rata Rp. 30 juta per anggota, tiba-tiba jadi bahan gorengan politik dan media. Seakan-akan para wakil rakyat ini sedang berpesta pora di atas penderitaan rakyat. Angka itu dituding tak masuk akal, terlalu mewah untuk kabupaten yang konon masih berhemat.
Namun, mari kita bicara jujur dan lurus: apakah besaran tunjangan ini melanggar hukum? Tidak. Apakah ia lahir dari keserakahan? Tidak juga. Justru sebaliknya, tunjangan perumahan itu lahir dari regulasi yang sahih, dengan landasan mulai dari UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Permendagri Nomor 37 Tahun 2018, hingga Perbup Sumedang Nomor 8 Tahun 2025. Dengan kata lain, apa yang dipersoalkan publik hari ini hanyalah bayangan semu dari ketidaktahuan.
Kritik yang Hanya Melihat Angka
Sayangnya, sebagian orang terburu-buru menghakimi dengan pandangan hitam-putih. Mereka menilai angka, bukan konteks. Padahal, tugas wakil rakyat bukan sekadar duduk manis di kursi empuk. Kursi itu justru ibarat bara : panas, penuh tuntutan, dan bisa membakar siapa pun yang tak kuat menjalaninya.
Setiap hari, anggota dewan menghadapi antrean konstituen dengan segudang harapan. Ada yang datang mengiba biaya rumah sakit, ada yang meminta bantuan sekolah anaknya, ada pula kelompok yang menagih dukungan untuk membangun jalan lingkungan atau sarana ibadah. Itu bukan sekali-dua kali, tapi ritme rutin yang menempel di setiap bulan, bahkan pekan.
Dan mari diakui, tak semua itu bisa ditopang APBD. Maka ke mana warga mengetuk? Ke wakilnya di dewan. Dan siapa yang harus membuka pintu? Ya para legislator itu sendiri, sering kali dengan kantong pribadi. Di titik inilah tunjangan yang dipandang sebagai “kemewahan” justru menjadi bensin agar mesin interaksi demokrasi tetap hidup.
Ironi Tanpa Dana Aspirasi
Lagi pula, publik sering lupa bahwa hampir enam tahun DPRD Sumedang tak mendapat dana aspirasi. Padahal, dana itu dulunya menjadi alat resmi anggota dewan untuk membangun jembatan kecil, memperbaiki jalan lingkungan, atau sekadar membantu fasilitas desa. Hilangnya dana aspirasi membuat legislator seakan dipaksa jadi juru selamat tanpa senjata.
Bagaimana mungkin publik menuntut para wakil rakyat selalu hadir, tapi pada saat yang sama mencibir ketika mereka diberi bekal yang sah lewat tunjangan? Itu ibarat meminta seorang prajurit maju ke medan perang, lalu merampas perisai yang sudah disediakan negara.
Kritik Sah, Tetapi Jangan Buta
Kritik adalah vitamin demokrasi, tetapi kritik yang buta pada regulasi hanya akan menjelma racun. Menuding tunjangan DPRD sebagai pemborosan tanpa membaca regulasi sama saja dengan menuduh hakim korup karena gajinya besar.
Ingat, hak anggota DPRD bukan hadiah, melainkan amanah konstitusi. Menolak tunjangan yang sah berarti menolak aturan negara itu sendiri. Jika regulasi dianggap bermasalah, maka yang harus disorot adalah produk hukumnya, bukan orang yang menjalankannya.
Saatnya Publik Lebih Dewasa
Tunjangan perumahan DPRD Sumedang bukanlah menara gading yang menjulang di atas rakyat. Ia adalah hak yang sah, sekaligus instrumen agar wakil rakyat tetap mampu hadir di tengah konstituennya. Angka Rp. 30 juta mungkin tampak mencolok, tapi beban moral dan sosial yang dipikul para legislator jauh lebih berat daripada bilangan itu sendiri.
Demokrasi sehat tidak lahir dari prasangka, melainkan dari saling memahami : publik berhak mengawasi, DPRD berhak mendapatkan haknya. Mengabaikan salah satunya hanya akan melahirkan demokrasi pincang, yang rapuh digoyang isu dan mudah digerogoti sentimen.
Elang Salamina