Home » REDAKSI » Senjakala Sang Adiraja : Empat Tanda Jokowi Kini Berjalan Sendiri

Senjakala Sang Adiraja : Empat Tanda Jokowi Kini Berjalan Sendiri

DULU, orbit politik negeri ini seolah berpusat pada satu nama, Joko Widodo. Ia adalah matahari, pusat gravitasi yang menarik setiap planet kekuasaan untuk merapat. Partai, elite, dan relawan berputar dalam lingkarannya, berlomba menangkap cahaya dan kehangatannya. Namun, setiap fajar akan bertemu senja. Hari ini, di panggung kekuasaan yang mulai temaram, tanda-tanda itu kian jelas, sang surya itu kini meredup, berjalan nyaris seorang diri di lorong sepi pasca-kekuasaan.

​Bagaimana sang magnet kuasa itu kini seolah kehilangan daya tariknya? Empat retakan besar pada fondasi kekuasaannya menjadi bukti yang tak terbantahkan.

​1. Benteng Partai yang Runtuh

​Setiap penguasa butuh rumah politik, sebuah benteng kokoh untuk berlindung. Bagi Jokowi, rumah itu adalah PDI Perjuangan. Namun, rumah yang membesarkannya itu kini telah menutup pintu rapat-rapat. Pemecatan dirinya, Gibran, dan Bobby Nasution bukanlah sekadar sanksi administratif; ia adalah sebuah talak politik yang dijatuhkan dengan keras. Pesan politiknya menusuk tajam, Jokowi adalah masa lalu.

​Ini melahirkan sebuah paradoks brutal. Bagaimana mungkin arsitek kemenangan dua pemilu, simbol kejayaan partai, justru terdepak dari daftar kader? Ini adalah demonstrasi paling telanjang dari wajah dingin kekuasaan. Saat singgasana masih diduduki, para elite adalah perisai paling setia. Begitu takhta bergeser, mereka menjadi yang pertama berbalik arah, tanpa perlu menoleh ke belakang. Begitulah tabiat kekuasaan, ia hanya setia pada masa kini, bukan pada jasa masa lalu.

​2. Bahtera Tanpa Sauh Raksasa

​Tanpa PDIP, Jokowi laksana sebuah bahtera yang kehilangan sauh raksasanya di tengah samudra politik yang ganas. Selama satu dekade, partai berlambang banteng itu adalah mesin tempur sekaligus perisai yang melindunginya dari gempuran lawan. Kini, perisai itu telah tiada, meninggalkannya nyaris telanjang di hadapan badai kritik.

​Partai-partai lain, yang dulu berbaris rapi di belakangnya, kini sibuk membaca arah angin baru. Mereka tengah menata layar untuk merapat ke pemerintahan selanjutnya, tak ada lagi yang sudi mengikatkan nasib pada kapal yang telah berlabuh. Satu-satunya yang tersisa hanyalah PSI, sebuah sekoci kecil yang loyal, namun tak punya daya tempur signifikan untuk menopang kapal induk. Ironisnya, sang raksasa kini hanya bersandar pada sekoci. Ini bukan lagi soal strategi, melainkan potret keterisolasian yang gamblang.

​3. Garda Terakhir Bernama Nostalgia

​Benteng terakhir yang tampak masih berdiri adalah barisan relawan. Merekalah infanteri yang dulu menjadi motor kemenangannya, bekerja di akar rumput dengan militansi tanpa syarat. Suara mereka memang masih nyaring terdengar, meneriakkan pembelaan dan menggaungkan kembali kisah-kisah kejayaan masa lalu.

​Namun, di arena politik formal, teriakan mereka tak lebih dari gema di sebuah lembah sepi. Tanpa sokongan struktural partai dan elite, simpati sosial tak akan pernah bisa dikonversi menjadi kekuatan politik riil. Lebih tragis lagi, banyak dari mereka terjebak dalam nostalgia. Sementara orkestra politik nasional telah berganti repertoar dan dirigen, mereka masih sibuk memutar kembali piringan hitam dari simfoni kemenangan yang telah usai. Jika benteng terakhir hanya dijaga oleh kenangan, pertahanan itu sesungguhnya sudah keropos dari dalam.

​4. Mahakarya yang Kini Menjadi Dakwaan

​Setiap pemimpin meninggalkan warisan. Dulu, proyek-proyek mercusuar Jokowi, terutama IKN, disambut aplaus meriah sebagai mahakarya visi ke depan. Kritik dianggap angin lalu, diredam oleh koalisi yang solid. Kini, angin telah berbalik. Mahakarya itu kini diletakkan di atas meja otopsi, dikuliti dari segala sisi. Anggaran yang fantastis, utang negara yang membengkak, dan ketidakpastian masa depan menjadi pisau bedah yang mengiris setiap jengkalnya.

​Yang paling pahit adalah tak ada lagi barisan elite yang merasa wajib pasang badan untuk membelanya. Dulu itu adalah prestasi bersama, kini ia menjadi beban pribadi. Jokowi dibiarkan seorang diri di panggung untuk mempertanggungjawabkan notasi megah dari lagu yang pernah mereka nyanyikan bersama. Pernahkah terbayangkan bahwa tugu peringatan yang digadang-gadang itu justru menjadi batu nisan bagi soliditas politiknya?

​Empat pilar itu, partai, elite, relawan, dan warisan, kini retak, bahkan runtuh. Jokowi, sang dirigen yang dulu memimpin orkestra kekuasaan, kini mungkin hanya mendengar gema dari simfoni yang pernah ia ciptakan; sebuah melodi yang dimainkan di panggung yang telah ditinggalkan para pemainnya. Politik, pada akhirnya, adalah seni tentang masa depan. Dan di panggung itu, seringkali tak ada ruang bagi mereka yang telah menjadi masa lalu.

Elang SalaminaÂ