Home » REDAKSI » Politik Angin dan Beringin yang Tak Goyang

Politik Angin dan Beringin yang Tak Goyang

PANGGUNG politik jelang Musyawarah Daerah (Musda) Golkar Sumedang mulai riuh. Namun, keriuhan kali ini tidak diisi oleh adu gagasan yang mencerahkan, melainkan oleh embusan “angin politik” yang sarat kepentingan. Angin yang tampaknya terlalu percaya diri bisa menumbangkan Beringin kokoh yang selama lima tahun terakhir dirawat hingga tumbuh subur di bawah kepemimpinan Sidik Jafar.

Beringin itu kini memang lebih rimbun. Di tangan Sidik, seorang politisi yang membaca peta politik secerdas ia dulu membaca permainan di lapangan hijau sebagai pemain Persib, Golkar Sumedang menunjukkan grafik yang sulit dibantah. Kenaikan kursi di DPRD dari 7 menjadi 10, lonjakan suara elektoral dari 83 ribu lebih menjadi 143 ribu lebih. Dan,.mendapat penghargaan dari Ketum Golkar atas prestasi rekrutmen anggota yang menempatkan Sumedang di peringkat 8 nasional dari 530 kabupaten/kota.

Data tidak pernah berbohong. Angka-angka ini adalah bukti kerja politik yang terukur, bukan sekadar klaim di atas panggung.

Justru karena prestasi itulah, serangan kini datang. Sebuah opera politik usang kembali dipentaskan melalui serangan media yang terpola. Narasi sumbang yang didaur ulang dari isu lama—persis seperti skrip yang dimainkan saat Sidik Jafar hendak dilantik sebagai Ketua DPRD—kini disajikan kembali. Publik yang cerdas tentu bertanya: jika gagasanmu kuat, mengapa harus memakai skenario basi?

Ini adalah cerminan politik gagap gagasan. Ketika visi tak mampu diadu, maka fitnah yang maju. Ketika rekam jejak lawan terlalu terang, satu-satunya cara adalah mencoba memadamkan cahayanya dengan tudingan gelap. Mereka lupa, prestasi, dalam kamus politik sebagian kalangan, adalah kebisingan yang mengganggu tidur nyenyak.

Serangan ini bukan sekadar tekel keras, melainkan manuver tanpa sportivitas. Alih-alih bertarung gagasan untuk masa depan partai, ada pihak yang memilih jalan pintas: menyebar gosip murahan yang ibarat pupuk kedaluwarsa—hanya menyisakan bau tak sedap tanpa menyuburkan apa pun kecuali prasangka.

Warga Sumedang, dan kader Golkar khususnya, sudah jauh lebih matang. Mereka bisa membedakan mana kritik konstruktif yang lahir dari nurani, dan mana pesanan politik yang diproduksi dari dapur elite yang cemas kehilangan panggung.

Musda adalah arena terhormat untuk menguji siapa yang paling layak memimpin, bukan panggung untuk para penebang pohon yang takut pada bayangannya sendiri. Jika ada yang nekat menggoyang Beringin hanya karena silaunya prestasi membuat mereka tak nyaman, jangan salahkan publik jika menilainya bukan sebagai calon pemimpin, melainkan sebagai perusak ekosistem partai.

Pada akhirnya, pertarungan ini mengerucut pada satu pertanyaan sederhana: apakah ini perebutan kepemimpinan untuk membesarkan partai, atau sekadar perebutan siapa yang paling berhak tidur siang di bawah rindangnya pohon Beringin?

Elang SalaminaÂ