SUMEDANG, INFOJABARONLINE – Alun-Alun Tegalkalong, Kecamatan Sumedang Utara, pada akhir pekan itu berubah menjadi ruang ingatan kolektif. Rumah panggung sederhana, sumur timba, leuit penyimpan padi, hingga perkakas dapur lawas, berdiri bersanding dengan keramaian warga. Aroma kuliner tradisional menyeruak, anak-anak berlarian memainkan egrang dan congklak, sementara para orang tua tersenyum getir, seakan menyaksikan kembali masa kecil yang perlahan memudar ditelan zaman.
Pagelaran Gelar Budaya bertema “Sumanget Kasumedangan Ngaguar Sajatining Tali Paranti Ti Bihari Ka Kiwari” bukan sekadar festival. Ia adalah upaya serius menjaga akar budaya Sunda agar tidak tercerabut, sebuah “obor” yang kembali dinyalakan di tengah derasnya arus globalisasi.
Filosofi di Balik Simbol
Di sudut alun-alun, berdiri leuit—lumbung padi tradisional Sunda. Bagi masyarakat agraris, leuit bukan sekadar bangunan penyimpan hasil panen. Ia adalah simbol keberlanjutan hidup, tempat titipan rezeki, dan lambang kesabaran petani yang menunggu panen tiba. Dengan menghadirkan leuit, penyelenggara seolah mengingatkan: pangan dan budaya adalah dua pilar yang tak bisa dipisahkan dari sejarah Kasumedangan.
Demikian pula dengan kaulinan barudak. Egrang mengajarkan keseimbangan, engkle menanamkan ketekunan, congklak melatih strategi dan hitungan. Permainan itu bukan hanya hiburan anak-anak, melainkan kurikulum sosial yang diwariskan turun-temurun. Kini, permainan tradisional itu berjuang melawan dominasi layar gawai yang membius imajinasi anak.
“Kalau anak-anak terbiasa dengan kaulinan barudak, mereka belajar bergerak, berpikir, bekerja sama. Tidak sekadar duduk terpaku menatap layar,” ujar seorang orang tua yang hadir mendampingi putranya bermain engkle.
Ruang Belajar Kolektif
Camat Sumedang Utara, Ayuh Hidayat, menyadari pentingnya menghadirkan budaya dalam format yang inklusif. Karena itu, Gelar Budaya kali ini melibatkan lintas sektor. Dinas Kesehatan membuka layanan cek kesehatan gratis, sementara Dinas Pendidikan mengajak siswa sekolah dasar untuk melakukan observasi langsung, mencatat, dan merekam pengalaman mereka.
“Kami ingin pemerintah kecamatan menjadi pemantik obor budaya,” tegas Ayuh. “Tugas kami memastikan obor itu tidak padam. Budaya Sunda harus terus hidup, dan anak-anak diberikan ruang serta fasilitas untuk bermain kaulinan barudak.”
Baginya, budaya bukan hanya tentang melestarikan benda atau permainan. Ia adalah jantung kehidupan masyarakat, yang berdampak pada pendidikan, kesehatan, ekonomi, hingga solidaritas sosial.
Alun-Alun Sebagai Jantung Kota
Sejak masa kerajaan, alun-alun selalu menjadi jantung kota di Tatar Sunda. Ia bukan hanya ruang terbuka hijau, tetapi arena di mana rakyat dan penguasa bertemu, di mana identitas komunal dibangun. Ayuh ingin menghidupkan kembali peran itu di Tegalkalong.
“Alun-alun harus menjadi ruang publik yang berdampak luas. Bukan hanya lapangan, tapi pusat pengetahuan, pendidikan, ekonomi, sosial, sekaligus simpul silaturahmi,” ujarnya.
Dengan langkah itu, Alun-Alun Tegalkalong diharapkan menjadi denyut baru Sumedang Utara—tempat masa lalu dan masa kini berjumpa, lalu bersama-sama menyalakan jalan bagi masa depan.
Api yang Tak Boleh Padam
Pagelaran budaya ini adalah isyarat: Sumedang tidak ingin kehilangan obornya. Leuit, kaulinan barudak, hingga rumah panggung bukan sekadar ornamen romantis, tetapi penanda arah agar generasi muda tahu dari mana mereka berasal.
Budaya Sunda, dengan segala simbol dan falsafahnya, adalah obor yang harus terus dijaga. Obor yang diharapkan tak hanya menerangi Alun-Alun Tegalkalong, tetapi juga hati setiap warganya, agar tak pernah kehilangan jalan pulang di tengah derasnya arus zaman.
Elang Salamina