Home » REDAKSI » MBG, Piring Beracun dari Dapur Negara

MBG, Piring Beracun dari Dapur Negara

DI ATAS kertas kebijakan, Program Makan Bergizi Gratis (MBG) adalah sebuah mahakarya. Resepnya diracik di menara gading Jakarta dengan narasi semanis madu: menumpas stunting, mencerdaskan generasi, dan menjadi bukti bahwa negara hadir dalam setiap suap nasi rakyatnya. Brosurnya menampilkan piring-piring kebahagiaan, sebuah utopia gizi bagi masa depan bangsa.

​Namun, utopia itu pecah berkeping-keping di Sumedang. Dari Tomo hingga Situraja, resep agung itu berubah menjadi racikan petaka. Ratusan perut kecil yang seharusnya diisi nutrisi justru dihantam racun. Ruang kelas menjadi bangsal darurat, dan bel istirahat digantikan oleh raungan sirene ambulans. Jamuan nutrisi yang dijanjikan menjelma menjadi horor keracunan massal.

​Rantai yang Putus

​Mari kita perjelas anatomi kegagalan ini. MBG adalah resep dari koki pusat, namun juru masaknya ditunjuk oleh pemerintah daerah. Di sinilah rantai komando itu putus, tergelincir dalam genangan kelalaian yang memalukan.

​Di Sumedang, prosesnya Bak sebuah pesta pora kecerobohan:

​Dapur Penyedia: Dipilih bukan karena kilau standar higienitasnya, melainkan karena logika buta “asal cepat, asal dapat”. Kualifikasi dapur direduksi menjadi sekadar kemampuan memenuhi kuota, mengubah standar kesehatan menjadi catatan kaki yang tak penting.

​Absennya Para ahli gizi? Nama mereka hanya menjadi jimat di atas proposal; arwahnya tak pernah gentayangan di dapur. Mereka adalah stempel legitimasi di atas kertas, bukan penjaga mutu di lapangan.

​Logistik Barbar: Makanan diangkut tanpa protokol, seolah nyawa anak-anak tak lebih berharga dari paket ekspedisi. Suhu, kemasan, dan waktu tempuh, tiga pilar keamanan pangan, semuanya diabaikan.

​Hasilnya? Kotak makan itu bukan lagi bekal, melainkan kotak Pandora berisi wabah. Yang lahir dari proses ini bukanlah generasi emas, melainkan generasi yang tumbang sebelum sempat mekar.

​Bukan Salah Dapur, Tapi Penyakit Sistemik

​Menyalahkan satu dapur adalah cara paling pengecut untuk lari dari masalah. Tragedi ini adalah gejala dari penyakit yang lebih kronis: keracunan sistemik.

​Ini adalah potret birokrasi yang sakit oleh mentalitasnya sendiri. Pemerintah pusat sibuk mencetak brosur program yang indah, tapi alpa membangun fondasi pengawasan yang kokoh. Pemerintah daerah, yang memegang kuasa absolut untuk menyeleksi juru masak, mengubah perannya dari kurator gizi menjadi makelar proyek. Fokusnya bukan lagi pada siapa yang dapurnya paling bersih, melainkan siapa yang paling ‘mudah diajak kerja sama’ atau paling cepat memenuhi target di atas kertas. Sekolah, di ujung rantai, diposisikan sebagai penerima pasif yang tak berdaya, tanpa taring untuk menolak atau mengontrol.

​Akibatnya, MBG menjelma laksana kue megah yang dipanggang tanpa termometer: disajikan dengan senyum penuh pencitraan, namun intinya mentah dan beracun.

​Perut Siswa sebagai Panggung

​Yang lebih membahayakan, di balik kelalaian teknis, mengintai monster politik pencitraan. Di sinilah misi mulia gizi dibajak menjadi komoditas citra. Kotak makan menjadi spanduk berjalan, kontrak dapur menjadi ladang bancakan, dan setiap suap nasi rawan menjadi “suap” elektoral.

​Jika begini wajahnya, MBG tak lagi soal menyehatkan, tapi soal memenangkan. Bukan lagi meja makan anak bangsa, tapi meja judi para pemburu rente. Dan taruhannya adalah perut dan kesehatan siswa-siswa yang paling rapuh.

​Tiga Resep Waras

​Solusinya tidak memerlukan seminar kebijakan yang rumit atau jargon birokrasi yang muluk. Ia hanya butuh akal sehat dan ketegasan. Tiga terapi kejut ini wajib dijalankan:

​Audit Tanpa Ampun, Eksekusi Kontrak Mati: Lakukan sidak ke setiap dapur penyedia. Bukan sekadar inspeksi seremonial, tapi audit forensik. Temukan dapur jorok, putus kontraknya saat itu juga. Jadikan ini sinyal bahwa bermain-main dengan nyawa anak adalah dosa yang tak terampuni.

​Laboratorium Dadakan di Tiap Sekolah: Sebelum satu pun kotak makan dibagikan, wajibkan uji sampel cepat di puskesmas atau posko kesehatan terdekat. Ada indikasi basi atau tak layak? Hentikan distribusi. Lebih baik anak kita menahan lapar sejenak daripada menahan sakit berhari-hari.

​Jadikan Orang Tua Garda Terdepan: Hentikan ilusi bahwa pengawasan birokrasi sudah cukup. Libatkan komite sekolah dan perwakilan orang tua sebagai tim quality control independen. Mata seorang ibu yang khawatir jauh lebih awas daripada puluhan inspektorat mana pun.

​Dari Janji Gizi ke Stempel Racun

​Tragedi Sumedang bukan sekadar catatan kaki; ia adalah babak utama dalam drama kegagalan kebijakan publik. Pemerintah pusat harus sadar: melempar resep agung tanpa memastikan dapurnya bersih sama dengan menyebar maut. Pemerintah daerah harus berhenti berpura-pura: ini bukan tentang menjalankan proyek, ini tentang merawat kehidupan.

​Jika tidak ada perombakan fundamental, MBG hanya akan dikenang sebagai akronim getir: Makan Beracun Gratis.

​Anak-anak kita tidak butuh program dengan nama yang megah. Mereka hanya butuh piring yang bersih, lauk yang aman, dan sistem yang tidak meracuni mereka secara perlahan. Karena pada akhirnya, pertaruhan di setiap kotak makan itu bukanlah angka anggaran, melainkan masa depan. Sesederhana dan serumit itu.

Elang SalaminaÂ