Home » REDAKSI » Klarifikasi Tunjangan Rumah DPR: Antara Kebutuhan Anggota dan Beban Publik

Klarifikasi Tunjangan Rumah DPR: Antara Kebutuhan Anggota dan Beban Publik

Red.INFO JABAR ONLINE – Ketua DPR RI Puan Maharani meluruskan isu yang beredar di media sosial terkait kabar kenaikan gaji anggota DPR hingga Rp3 juta per hari atau sekitar Rp100 juta per bulan. Puan menegaskan, tidak ada kenaikan gaji pokok bagi anggota dewan, melainkan penambahan tunjangan rumah sebesar Rp50 juta per bulan.

“Tidak ada kenaikan. Hanya sekarang DPR sudah tidak mendapatkan rumah jabatan, namun diganti dengan kompensasi uang rumah,” kata Puan di Jakarta.

Kebijakan ini disebut sebagai bentuk kompensasi karena fasilitas rumah dinas anggota dewan dikembalikan kepada negara. Tunjangan tersebut, menurut Puan, diharapkan dapat membantu anggota DPR khususnya yang berasal dari luar daerah untuk memenuhi kebutuhan tempat tinggal selama bertugas di ibu kota.

Gaji Pokok Tetap, Penghasilan Bisa Tembus Rp100 Juta

Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 75 Tahun 2000 dan Surat Edaran Setjen DPR RI Nomor KU.00/9414/DPR RI/XII/2010, gaji pokok anggota DPR tetap Rp4,2 juta per bulan. Namun, selain gaji pokok, anggota DPR juga menerima beragam tunjangan melekat seperti biaya komunikasi, jabatan, dan uang sidang. Dengan tambahan tunjangan rumah, total penghasilan anggota DPR diperkirakan bisa melampaui Rp100 juta per bulan.

Wakil Ketua DPR Adies Kadir sempat menambah kebingungan publik setelah menyebut adanya penyesuaian lain seperti bahan bakar dan beras. Namun, ia kemudian mengoreksi pernyataannya dan menegaskan bahwa penyesuaian hanya berlaku pada tunjangan rumah.

Kritik dari ICW dan Formappi

Meski dijelaskan sebagai kompensasi, kebijakan tunjangan rumah ini tetap menuai kritik. Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Egi Primayogha, menilai nominal Rp50 juta per bulan terlalu tinggi dan tidak sensitif terhadap kondisi masyarakat. ICW memperkirakan, bila dihitung selama lima tahun masa jabatan, beban anggaran negara untuk tunjangan rumah anggota DPR bisa mencapai Rp1,74 triliun.

Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) juga menyoroti kebijakan tersebut. Menurut mereka, peningkatan fasilitas seharusnya diiringi dengan peningkatan kinerja DPR, terutama dalam hal legislasi. “Ketimpangan akan semakin tajam bila peningkatan kesejahteraan anggota dewan tidak diimbangi dengan kualitas kerja legislasi yang nyata,” tulis Formappi.

Reaksi Publik: Empati yang Dipertanyakan

Isu tunjangan rumah ini juga menjadi bahan perdebatan hangat di media sosial. Banyak warganet menilai kebijakan tersebut berlebihan, terlebih di tengah situasi ekonomi yang masih sulit bagi masyarakat luas. Sebagian publik menekankan, DPR seharusnya lebih fokus memperbaiki kinerja, transparansi, dan produktivitas legislasi ketimbang menambah fasilitas pribadi.

Sorotan ke Depan

Kebijakan tunjangan rumah DPR menimbulkan dua sisi pandangan. Dari sisi anggota dewan, tunjangan dianggap sebagai kebutuhan logis setelah rumah dinas ditiadakan. Namun, dari perspektif publik, besarnya angka yang mencapai Rp50 juta per bulan menimbulkan pertanyaan soal empati dan prioritas penggunaan anggaran negara.

Dengan munculnya kritik dari masyarakat sipil, akademisi, hingga warganet, isu tunjangan rumah DPR diperkirakan akan terus menjadi sorotan, terutama terkait transparansi, akuntabilitas, serta urgensinya bagi kepentingan rakyat.**

                                                                                  (Red/Donny**)