DARI singgasana pasca kuasa, bisikan baru saja berembus, namun gaungnya lebih dahsyat dari pidato kenegaraan. Satu kalimat dari Jokowi meminta relawan mengawal Prabowo-Gibran dua periode bukan sekadar wejangan. Ini partitur yang baru saja dibagikan untuk sebuah orkestrasi kekuasaan yang menolak mengenal kata “usai”.
​Inilah babak terbaru dari sebuah drama ironi. Sosok yang seharusnya sedang menyusun memoar sebagai bapak bangsa, justru memilih peran sebagai dalang yang tak rela melepas tali kelir. Alih-alih menerima golden handshake dari sejarah dengan elegan, Jokowi tampak sibuk merangkap jabatan, dari mantan presiden, menjadi sutradara, penulis naskah, sekaligus penata properti panggung politik. Memastikan semua asetnya aman sebelum tirai benar-benar ditutup.
​Kalibrasi Ulang Laskar Reformasi Menjadi Pagar Betis Dinasti
​Kita patut berduka untuk para relawan. Dulu, mereka adalah mesin penggerak harapan, bahan bakar jet perubahan yang mengangkasa. Kini, peran mereka dikalibrasi ulang. Dari laskar reformasi yang progresif, diturunkan pangkatnya menjadi sekadar pagar betis dinasti, rompi anti peluru politik yang disiagakan untuk melindungi kenyamanan seorang pria dan keluarganya.
​Perintah “dukung dua periode” adalah proklamasi terselubung bahwa remote control kekuasaan masih tergenggam erat. Jutaan simpul relawan yang dulu aset bangsa, menjadi aset pribadi yang siap diaktivasi. Pertanyaannya bukan lagi “untuk Indonesia?”, melainkan “untuk melindungi siapa dari apa?”. Melindungi dari audit kebijakan? Dari badai hukum pasca lengser? Atau dari kutukan sejarah?
​Prasmanan Kekuasaan yang Tak Pernah Tutup
​Seorang negarawan sejati mengerti seni etiket di meja makan kekuasaan, tahu kapan harus berhenti menyendok. Namun, Jokowi seolah mengajarkan bahwa politik adalah prasmanan abadi tanpa jam tutup. Ia terus kembali ke meja hidangan, bukan karena lapar, melainkan untuk memastikan tak ada yang berani menyentuh piring-piring yang telah ia sisakan.
​Dugaan bahwa manuver ini demi “kesinambungan pembangunan” terdengar seperti lelucon satir. Ini lebih mirip upaya memastikan “kesinambungan impunitas”.
Dengan mengamankan orbit kekuasaan hingga satu dekade ke depan, Jokowi sedang menanam beringin paling rindang untuk berteduh dari terik matahari pertanggungjawaban. Di bawahnya, hantu-hantu masa lalu bisa tidur nyenyak, dari proyek IKN yang compang-camping, gunung utang negara, hingga bau amis oligarki yang kian hari kian pekat.
Indonesia pernah menyaksikan Jokowi lahir sebagai fajar harapan. Rakyat mengelukannya sebagai antitesis dari elite lama yang berjarak. Kini, fajar itu telah menjadi gerhana, bayang-bayang panjang yang sengaja diciptakan untuk menghalangi matahari baru terbit. Ia bertransformasi dari simbol harapan menjadi simpul kepentingan.
Sejarah adalah hakim yang kejam. Ia mungkin tak akan mengenang Jokowi sebagai negarawan agung, tetapi sebagai seorang mandor proyek yang lupa bahwa kontraknya sudah habis. Ia datang sebagai simbol kesederhanaan rakyat, namun berisiko pamit sebagai metafora paling getir. Kekuasaan jika tak dikendalikan, mampu mengubah amanah menjadi warisan keluarga.
Elang SalaminaÂ