Home » REDAKSI » Guru Tumbal MBG : Ketika Dapur Politik Menggoreng Martabat Pendidik

Guru Tumbal MBG : Ketika Dapur Politik Menggoreng Martabat Pendidik

GURU di negeri ini selalu dipuja sebagai pahlawan tanpa tanda jasa. Tetapi dalam praktik, mereka lebih sering dijadikan tumbal tanpa tanda hormat. Program Menu Berkah Gizi yang dalam realitas lebih layak disebut Menu Beracun Gratis (MBG), adalah panggung terbaru di mana guru dipaksa berperan bukan sebagai pendidik, melainkan kuli distribusi, satpam rantang, sekaligus penanggung jawab keracunan massal.

Mari kita luruskan absurditas ini. Guru tidak pernah dilibatkan dalam perumusan MBG. Mereka tidak duduk di meja rapat ketika kebijakan diracik, tidak ikut menentukan menu ketika kontrak diteken, tidak menikmati keuntungan ketika proyek digelontorkan. Tetapi ketika rantang datang, justru merekalah yang disuruh menghitung tampah, membagikan makanan, dan menandatangani surat risiko. Jika ada yang hilang? Ganti. Jika ada yang keracunan? Tanggung.

Bukankah ini parodi paling kejam dari sebuah negara yang katanya menjunjung tinggi pendidikan?

Mengapa Guru Dijadikan Tumbal?

Jawabannya ada pada politik rente. MBG bukan sekadar urusan gizi, ia adalah tambang emas baru. Banyak laporan menyebut dapur MBG dikuasai oleh tim sukses politik, pejabat, bahkan anggota DPR yang menanam saham. Maka wajar bila pola pengelolaan MBG bukan berdasarkan ilmu gizi, melainkan ilmu bagi-bagi rezeki.

Lalu, siapa yang paling mudah dipaksa bertanggung jawab? Guru. Mereka berada di lapangan, tidak punya kuasa menolak, tidak punya posisi tawar, dan punya reputasi moral yang mudah dimanipulasi. Logika negara seakan berkata: “Jika anak keracunan, tuding saja guru. Mereka pasti pasrah.”

Ironinya, guru tidak mendapat insentif dari program ini. Tidak ada tunjangan risiko. Tidak ada kompensasi. Yang ada justru tambahan beban administratif dan ancaman kriminalisasi bila ada masalah. Guru dijadikan tameng hidup untuk melindungi wajan gosong para pemegang proyek.

Akibat Sosial-Ekonomi

MBG juga mematikan denyut UMKM lokal. Warung sekitar sekolah yang dulu jadi ruang sosial anak untuk jajan kini banyak terancam gulung tikar. Anak-anak dipaksa makan dari “dapur kuasa” yang kualitasnya meragukan. Ekonomi rakyat kecil tercekik, sementara dapur besar milik elite semakin berasap dengan laba.

Di titik ini, MBG bukan hanya gagal menjamin gizi, tapi juga merusak ekosistem pendidikan dan ekonomi. Anak keracunan, guru jadi tumbal, UMKM terkubur, elite berkelindan dengan rente.

Menyelamatkan Guru, Menyelamatkan Bangsa

1. Reposisi Tanggung Jawab.

Guru harus sepenuhnya dikeluarkan dari rantai distribusi pangan. Peran mereka kembali fokus pada mendidik, bukan mendistribusikan. Bila ada kasus keracunan, tanggung jawab hukum mutlak di pihak penyedia dan regulator, bukan sekolah apalagi orangtua.

2. Transparansi Politik Ekonomi MBG.

Publikasikan siapa pemegang saham dapur MBG, siapa pejabat atau anggota DPR yang terlibat. Rakyat berhak tahu apakah gizi anak mereka dijadikan komoditas politik.

3. Profesionalisasi Distribusi.

Bentuk unit khusus di bawah dinas kesehatan atau dinas sosial untuk mengelola makanan sekolah. Rekrut tenaga profesional yang paham standar higienis, bukan melempar beban ke guru.

4. Revitalisasi UMKM Lokal.

Alih-alih mematikan warung sekitar sekolah, libatkan mereka sebagai mitra resmi penyedia pangan. Dengan sistem verifikasi dan rotasi, anak-anak mendapat variasi sehat, UMKM hidup, dan ekonomi rakyat bergerak.

5. Jaminan Hukum untuk Guru.

Harus ada regulasi nasional yang melindungi guru dari kriminalisasi akibat program yang bukan tanggung jawab mereka. Tanpa ini, guru akan terus hidup di bawah ancaman jadi “korban sistem.”

Ketika guru dipaksa jadi tumbal, yang hancur bukan hanya martabat profesi, tapi juga masa depan pendidikan. Negeri ini bisa bertahan tanpa MBG, tapi tidak akan pernah maju tanpa guru. Maka pertanyaannya sederhana: mau sampai kapan guru dijadikan perisai politik, sementara dapur kekuasaan terus menanak nasi basi?

Kalau negara masih punya nurani, kembalikan guru ke kelas, bukan ke dapur. Karena bangsa ini tidak akan pernah kenyang hanya dengan proyek, tapi dengan pendidikan yang bermartabat.

Elang Salamina