Majalengka, INFO JABAR ONLINE – Istilah pengabdian kerap digaungkan dalam ruang-ruang birokrasi pendidikan, dari pidato pejabat hingga spanduk peringatan Hari Pendidikan Nasional. Namun, di balik jargon mulia itu, praktik di lapangan menunjukkan wajah berbeda.
Berdasarkan penelusuran lapangan, sejumlah sekolah penerima bantuan di Kabupaten Majalengka diduga mengalami praktik pengondisian dalam pengadaan barang dan jasa, terutama pada proyek pengadaan baja ringan. Dugaan ini mengarah pada keterikatan dengan satu perusahaan tertentu.
Ketika dimintai klarifikasi, pihak pelaksana kegiatan menyatakan bahwa seluruh keputusan diserahkan kepada kepala sekolah, karena anggaran memang dikelola langsung oleh sekolah. Namun, upaya konfirmasi kerap terkendala karena kepala sekolah jarang ditemui saat awak media mendatangi sekolah.
Menanggapi persoalan ini, Kepala Seksi Sarana dan Prasarana Sekolah Dasar (Sapras SD) Dinas Pendidikan Kabupaten Majalengka, Nia Sriwiniarsih, S.E., menegaskan bahwa pihaknya selalu menekankan pentingnya kualitas dalam setiap pengadaan.
“Saya pribadi selalu menyampaikan ke sekolah, bahan harus sesuai spek. Terkait belanja, silakan diserahkan kepada pihak sekolah. Mau belanja ke manapun, yang utama kualitas harus diutamakan,” jelasnya melalui sambungan gawai.
Soal keberadaan kepala sekolah yang sulit ditemui, Nia menambahkan, “Kalau kepala sekolah tidak ada di tempat, saya juga mengerti, mungkin ada keperluan lain. Kepala sekolah juga pernah curhat ke saya, sepertinya banyak media yang datang tiap hari,” ujarnya.
Praktik pengondisian proyek dinilai semakin menjauhkan dunia pendidikan dari makna pengabdian. Guru dipaksa menjadi pelengkap administrasi, pelatihan berlangsung seremonial, renovasi sekolah lebih sibuk dengan nilai kontrak ketimbang mutu bangunan, sementara proyek buku berpotensi menjadi ladang bisnis segelintir pihak.
Di sisi lain, masih banyak guru yang bekerja dengan tulus, datang lebih pagi, membersihkan kelas, hingga mendidik anak-anak dengan penuh dedikasi meski honor terbatas. Ironisnya, justru mereka yang tulus sering terjebak dalam sistem birokrasi yang lebih mementingkan laporan keuangan dibanding mutu pembelajaran.
Padahal, aturan sudah jelas:
- UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional menegaskan pendidikan adalah sarana mencerdaskan kehidupan bangsa.
- UU No. 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara mengamanatkan integritas dan netralitas pejabat publik.
- UU No. 31 Tahun 1999 junto UU No. 20 Tahun 2001 tentang Tipikor melarang penyalahgunaan wewenang dalam bentuk apapun.
- Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah mengatur pengadaan harus transparan, efektif, bersaing sehat, dan bebas intervensi.
Dengan demikian, praktik pengondisian, jika terbukti, jelas bertentangan dengan prinsip hukum yang berlaku.
Pengamat pendidikan menilai perbedaan antara kebijakan Dinas Pendidikan dan dugaan praktik di lapangan memperlihatkan adanya celah dalam implementasi. “Transparansi bukan sekadar slogan. Sekolah sebagai penerima anggaran wajib membuka akses informasi agar terhindar dari kecurigaan permainan proyek,” ungkap salah satu pemerhati pendidikan di Majalengka.
Kasus ini menjadi pengingat bahwa dana pendidikan adalah amanah publik. Jika transparansi, akuntabilitas, dan keberanian menegakkan hukum tidak dijalankan, maka kata pengabdian akan terus menjadi jargon kosong, sementara proyek tetap menjadi dalang utama dalam panggung pendidikan.**
Donny Wardhana*